Okeeey guys,
sebenernya ini cerita gue waktu gue ke Kampung Inggris, Pare, Kediri Januari
lalu. Gue udah nulis ini ceritanya sebenernya udah dari lama. Tapi ya baru
posting sekarang aja hehe maaf bgt kalo ceritanya ngalor ngidul :) Enjoy
it!
Kediri, salah satu kota yang berada di Jawa Timur ini akhirnya
saya pilih untuk menghabiskan liburan. Kota terjauh yang pernah saya kunjungi
tanpa bersama orang tua. Pengalaman pertama saya ”mencoba” transportasi kereta
api. Realita hidup yang tersaji di sepanjang perjalanan menambah point penting
untuk saya.
Kereta ekonomi AC yang katanya sudah dilengkapi dengan hadirnya “Sang pendingin” alias Air Conditioner (AC), nyatanya tetap membuat saya berkeringat. Badan pegal-pegal karena harus duduk selama lima belas jam di bangku kereta yang tidak terlalu “empuk”. Banyaknya pedagang asongan yang secara bergantian keluar masuk kereta setiap berhenti di stasiun menambah ramai suasana dalam kereta.
Saat pagi menjelang, mata saya tak pernah lepas dari hijaunya hamparan sawah yang terbentang luas. Degradasi warna matahari terbit membuat saya kagum atas segala ciptaan-Nya yang begitu indah. Udara pagi sangat segar. Pemandangan yang begitu sempurna ini seakan menjadi pengobat hati setelah semalaman berada dalam kereta.
Satu per satu penumpang turun dari kereta, hanya menyisakan beberapa orang saja yang memiliki tujuan yang sama dengan saya. Stasiun Kediri menjadi ujung dari perjalanan kereta tangguh ini. Tak banyak kereta yang berhenti di sini. Tak banyak orang pula yang terlihat beraktivitas di dalam stasiun. Kebanyakan toko yang menjual makanan pun masih banyak yang tutup, padahal angka pada handphone saya sudah menunjukkan pukul 08.10 WIB.
Perjalanan menuju luar stasiun, saya disambut dengan banyaknya orang yang menawarkan jasa angkut barang hingga tukang becak yang siap mengantarkan para “pendatang” ke tempat tujuan. Namun, karena barang bawaan saya tidak terlalu banyak, saya pun masih kuat untuk membawanya sendiri. Lima belas jam berada di dalam kereta nyatanya membuat saya kehabisan energi. Untung saja saya menemukan warung soto di seberang stasiun. Saya pun segera meluncur ke sana.
Warung soto ini sangat sederhana. Menu yang tersedia pun tidak terlalu beragam. Saya memesan soto daging untuk menjadi menu sarapan saya hari ini. Selain saya, terlihat ada beberapa warga juga yang sedang mengobrol di warung ini. Sambil menunggu pesanan, saya sempat memperhatikan para warga tersebut. Jujur, saya tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Saya tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Namun, mereka cukup ramah kepada saya, sesekali mereka pun mengajak saya mengobrol dan sedikit bercerita mengenai Kediri.
Tidak terlalu lama menunggu, akhirnya pesanan saya pun datang. Soto daging di sini sedikit berbeda dengan soto yang biasanya saya temukan. Nasi dan soto bercampur dalam satu mangkuk. Rasanya pun memiliki bumbu yang khas. Hanya ada beberapa potong daging dan lemak dalam satu porsi. Maklum saja, harganya pun sangat murah yaitu tujuh ribu rupiah.
Setelah perut terisi kembali, akhirnya perjalanan saya di Kediri dimulai dengan mngunjungi kampung inggris di Desa Tulungrejo, Kediri. Kesan pertama ketika saya sampai di sini adalah udaranya yang sangat panas, jauh melebihi panasnya Bogor. Namun, kehidupan di sini cukup menyenangkan. Selain dapat bertemu dengan teman baru dari berbagai universitas, saya pun dapat meyalurkan hobi saya bersepeda. Banyak tempat peminjaman sepeda di sini. Jenis sepeda yang ditawarkan sangat banyak dan masih sangat terawat. Harga makanan pun sangat murah, seperti nasi pecel komplit yang seharga tiga ribu rupiah saja. Alhasil, saya pun hampir setiap hari mengkonsumsi nasi pecel.
Ketika akhir pekan, saya dan beberapa teman saya memutuskan untuk berlibur ke Gunung Kelud. Memang masih banyak orang yang belum tahu mengenai Gunung Kelud ini, padahal jaraknya tidak terlalu jauh dari kampung inggris, hanya sekitar satu jam perjalanan. Perjalanan menuju Gunung Kelud ini sangat sepi. Pemandangan sekitar Gunung Kelud benar-benar indah. Saya seakan benar-benar dekat dengan birunya langit. Di tengah perjalanan, Pak Supir menunjukkan suatu keunikan yang ada di perjalanan menuju Gunung Kelud. Dia pun mematikan mesin mobilnya. Namun, tiba-tiba mobil dapat bergerak sedikit demi sedikit. Saya merasa heran dan sedikit kagum dengan peristiwa tersebut. Ternyata ini lah yang dikenal dengan jalan misteri. Daya tarik magnetik di sini ternyata cukup besar. Pantas saja ketika mesin mobil dimatikan, mobil dapat “tertarik” hingga bergerak.
Setelah kagum dengan jalan misteri, perjalanan pun kembali
dilanjutkan. Jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok cukup membuat saya
sedikit mual. Akhirnya kami telah sampai di kawasan Gunung Kelud, para
penumpang pun turun dari mobil. Hanya mobil rombongan kami saja dan beberapa
motor yang ada di area parkir tersebut. Tidak terlalu banyak pengunjung yang
datang. Padahal, kami datang saat akhir pekan. Sebagian besar warung yang berjejer rapi tidak jauh dari tempat
parkir pun tutup.
Perjalanan kami masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Kami
melewati terowongan sebagai “gerbang” menuju Gunung Kelud. Terowongan ini
sangat gelap meskipun telah dilengkapi dengan beberapa lampu yang menggantung
di dalamnya. Di ujung terowongan sana, sekitar beberapa meter, perjalanan kami
dilanjutkan dengan menaiki satu per satu anak tangga untuk mencapai puncak
Gunung Kelud. Entah berapa banyak jumlah anak tangga tersebut, mungking seribu
bahkan lebih. Hari sudah semakin siang. Matahari begitu terik menyilaukan mata.
Kaki kami sudah mulai pegal dan tak kuat untuk melanjutkan perjalanan puncak.
Terlebih lagi karena kami semua belum sarapan. Setelah hampir dari setengah
perjalanan, kami pun terpaksa menyerah dan kembai turun ke bawah, tanpa tahu
bagaimana indahnya pemandangan yang ada di puncak Gunung Kelud tersebut.
Tak jauh dari tangga tersebut, kami dapat melihat Anak Gunung
Kelud. Menurut salah seorang pemandu wisata kami, Anak Gunung Kelud tersebut
muncul dari bawah danau sekitar tahun 2000-an dan sekarang masih aktif. Suatu
pengetahuan baru bagi saya tentunya karena selama ini yang saya ketahui hanya
ada Anak Gunung Krakatau. Namun, kami tak bisa mendekat apalagi mendaki Anak
Gunung Kelud tersebut. Anak Gunung Kelud ini memiliki jenis tanah seperti
kerikil dan bebatuan, bukan tanah pada umumnya. Saya ingin sekali mencoba
memegang tanah Anak Gunung Kelud tersebut. Namun, setelah saya menuruni satu
demi satu anak tangga, ada garis pembatas yang tidak memperbolehkan kami untuk
memegang tanahnya. Kami pun kembali pulang melewati “gerbang” terowongan
seperti jalan awal kami datang.
Kami
beristirahat sejenak di warung sambil mengisi perut yang sudah sangat
kelaparan. Semangkuk mie instan dengan telur setengah matang menjadi menu
sarapan kami sekaligus menu makan siang. Setelah memiliki energi yang cukup,
kami kembali bersiap untuk menjelajah ke tempat sumber air panas sekaligus
belerang. Perjalanan menuju sumber belerang ini lebih jauh dari pendakian ke
puncak Gunung Kelud. Mie yang baru saja kami makan pun sudah tidak terasa lagi.
Kembali, di tengah perjalanan kami sudah menyerah. Akhirnya kami kembali menuju
tempat parkir dan pulang menuju camp.
Well, itu tadi sepenggal kisah gue selama di Kediri. Sebenernya gue
mau nulis lebih detail lagi tentang kisah gue selama di
Kampung Inggrisnya. Ya tapi gue udah capek bgt ini nulis hehe next time gue
coba share lagi deh. Thanks for visiting my blog! :D
No comments:
Post a Comment