Cover depan novel (photo by me) |
Sebenernya ini novel udah
lama banget gue beli, sekitar 2 atau 3 tahun lalu. Tapi karena waktu itu gue
lagi sibuk-sibuknya kuliah (ceilah sombong :p) makanya gue belum tamat bacanya.
Dan berhubung sekarang gue lagi jadi pengangguran, makanya gue mencari kesibukan,
dan salah satunya adalah membaca novel yang tak kunjung usai gue baca ini haha
Novel ini cukup spesial
buat gue pribadi karena penulis novelnya adalah temen gue sendiri. Ini true story. Temen SMA gue, sekelas waktu
kelas X (1 SMA), namanya Auliya Millatina Fajwah – yang emang dari zaman SMA
setahu gue udah jago banget nulis. Buktinya waktu SMA aja, Aul ini (panggilan
akrab gue) sering menjuarai tulis cerpen lah atau kalo enggak artikelnya sering
banget dimuat di koran atau majalah.
But,
biar agak keren sedikit, gue sebut Aul dengan “nama pena”-nya Millatina ya
hehe. Judul novel ini adalah Elegi:
Ketika Kesakitan Ditolak Kehadirannya. Beuh,
berat banget kan baca judulnya aja? Bahkan gue sendiri gak ngerti apa makna
dari kata ‘Elegi’. Akhirnya, gue carilah di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
dan munculah arti kata ‘Elegi’ seperti di bawah ini
ele·gi /élégi/ n syair atau nyanyian yang mengandung
ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian)
Bahkan, setelah
gue baca arti kata ‘Elegi’ berdasarkan KBBI pun, gue masih belum ngerti banget
apa dari kata ‘Elegi’ sebenarnya haha payah banget emang gue L
Sisi pandang
objektif gue menilai kalo novel ini bagus, lebih dari bagus. Millatina mampu
menyuguhkan novel dengan padanan kata yang cantik dan sangat intelektual.
Meskipun, menurut gue pribadi sih cukup rumit karena bener-bener sastra tingkat
tinggi banget deh. Contohnya seperti yang tertuang pada bagian Prolog ini (ini
baru bagian prolog loh, masih pembukaan awal)
Tidak selamanya langit membentang
dengan panorama biru muda yang indah, terkadang berubah kelabu, seperti ingin
melepaskan kesakitan bersama air hujan. Tidak selamanya burung-burung berkicau
dengan riang, terkadang hanya diam dan mengepakkan sayap membelah langit
bersama ketenangan.
Gimana sedap
kan? Kalo menurut lu itu hal biasa, bagi gue itu padanan kata-kata yang sangat
indah. Tapi, gue emang perlu mikir dulu bacanya haha efek kebanyakan baca
novel-novel teenlit :p Gue
bahkan kadang harus membaca satu bagian tertentu berulang-ulang agar memahami
maksudnya. Mungkin karena selera sastra gue yang terlalu rendah haha
Ada lagi yang seperti ini…
Pertemuan pertama memang tidak selalu
menghadirkan cakrawala keindahan yang sempurna, tidak pula menawarkan dongeng
yang indah. Terkadang justru terasa begitu rumit, seakan ingin menolaknya.
Siang diciptakan bukan untuk mengejar malam,
namun sore selalu hadir dan menghubungkan keduanya.
Millatina juga banyak
menyematkan istilah-istilah mitologi Yunani sebagai pengandaian di dalam novelnya,
seperti Dewa Zeus, Dewi Artemis, Dewa Apollo, Dewa Dionisos, Dewi Hera, dsb –
yang gue gak ngerti itu siapa. Meskipun di beberapa bagian Millatina
menjelaskannya dan di beberapa bagian lainnya tidak.
Langit biru terhampar luas hingga ujung
khatulistiwa dengan serat-serat awan tipis. Dedaunan seolah melambai dan menari
tertiup angin. Burung-burung gereja berkicau saling menyahut satu sama lain.
Dewa Aether membentuk atmosfer sempurna, hingga Dewi Gaia membiarkan bumi dalam
poros sempurna.
Terkadang Millatina juga
mengutip “petikan-petikan” dari orang terkenal seperti yang tertulis pada
bagian ini
Untuk kali pertama ia merasa jatuh cinta,
yang kemudian segera berubah menjadi amor
platonicus, seperti yang ditemukan dalam naskah Symposium karya Plato, sebuah
cinta yang tak tersentuh, bersebelahan namun bukan untuk berdampingan.
Gue mengagumi “kelancaran”
Millatina dalam menceritakan setting
tempat pada novel ini yang begitu nyata. Di dalam novel Elegi ini, Millatina
mengangkat 3 tempat, yaitu Bourgogne (Perancis), Bandung (Indonesia), dan Tokyo
(Jepang). Millatina mampu menceritakan setiap detail dari ketiga tempat tersebut seakan-akan ia memang tahu betul
ketiga tempat tersebut. Dan gue sebagai pembaca, seakan dibawa masuk bersama ke
dalam tiga tempat tersebut. Good job!
Novel ini memiliki 3 tokoh
utama yang menjadi peranan penting, yaitu Dylan, Reyka, dan Sara. Dylan
McFadden adalah seorang yang membenci anggur, orang tua, dan hidupnya. Ia memiliki masa lalu yang sulit yang membentuk
sikapnya menjadi seperti ini saat ia telah dewasa. Reyka Afabel, merasa dirinya
seperti sebuah manekin. Ia pun memiliki masa lalu yang cukup sulit seperti
Dylan meskipun dengan kasus yang berbeda. Kedua orang ini sama-sama menyukai
seorang wanita cantik yang bernama Sara Visella.
Cerita novel ini sangat apik,
konfliknya pas, dan penuh kejutan. Kadang, ketika gue telah menyimpulkan
tentang A, kemudian ditentang pada bab berikutnya sehingga kesimpulan gue
berubah menjadi B. Dan seteleh gue membaca bab berikutnya, kesimpulan gue
berubah lagi menjadi C. Penuh teka-teki memang. Di sini, pembaca dituntut untuk
“berpikir” juga ketika membacanya.
Millatina berhasil membuat
sebuah novel yang tidak sekedar menceritakan “drama” mengenai perebutan seorang
wanita oleh dua orang pria. Dalam novel ini pun tidak hanya bercerita mengenai
kisah kasih, tetapi juga bagaimana Dylan mengatasi kebenciannya terhadap orang
tuanya. Dan bagaimana Reyka “berdamai” dengan masa lalunya. Dan jika kau ingin
tahu bagaimana akhir cerita novel ini, siapa yang akan mendapatkan hatinya
Sara, kau harus membaca sendiri novel ini! :D
Ada beberapa bagian quotes yang gue suka dari novel ini,
seperti…
“Kau tahu, kadang-kadang dalam hidup ini
seseorang tidak diberikan pilihan, ia harus mengikuti suatu jalan yang sebenarnya
tidak ingin dilalui, dan kau baru tahu bahwa jalan itu salah ketika kau sudah
melaluinya.”
“Kalian tahu, hidup itu tidak sesederhana
yang kau bayangkan. Ketika ada kesulitan, Tuhan pasti telah menciptakan
kemudahan.” – ucap Bu Rena kepada Sara dan Rion.
Point
negative yang gue dapet dari novel yang tebelnya 154 halaman ini
adalah terlalu banyaknya narasi yang gak to-the-point
(seperti yang udah gue singgung di atas). Memang, itu menunjukkan betapa
Millatina memiliki kosa kata yang lebih dari “kaya”. Hanya saja – kembali lagi
ke gue sang penggemar novel teenlit –
hal itu bikin gue kadang “ngantuk” di tengah jalan. Mungkin jika ditambah
dengan lebih banyak dialog atau ilustrasi yang mendukung, hasilnya pasti akan
jauh lebih baik lagi.
But,
overall gue ngerasa bangga banget punya temen yang udah
ngeluarin novel pertamanya dengan cukup baik dan ajaib! J
So,
buat
lu yang memiliki jiwa sastra tinggi, novel ‘Elegi’ ini gue rekomedasiin buat lu.
Atau kalo pun lu selemah gue dalam hal satra, gak ada salahnya buat lu baca
novel ini :D
Kalimatnya .... love banget anak melankolis wajib baca keknya
ReplyDelete