Wednesday 14 October 2015

Review Novel: 'ELEGI' Karya Sastra Tingkat Tinggi Penuh Kejutan

Cover depan novel (photo by me)

Sebenernya ini novel udah lama banget gue beli, sekitar 2 atau 3 tahun lalu. Tapi karena waktu itu gue lagi sibuk-sibuknya kuliah (ceilah sombong :p) makanya gue belum tamat bacanya. Dan berhubung sekarang gue lagi jadi pengangguran, makanya gue mencari kesibukan, dan salah satunya adalah membaca novel yang tak kunjung usai gue baca ini haha

Novel ini cukup spesial buat gue pribadi karena penulis novelnya adalah temen gue sendiri. Ini true story. Temen SMA gue, sekelas waktu kelas X (1 SMA), namanya Auliya Millatina Fajwah – yang emang dari zaman SMA setahu gue udah jago banget nulis. Buktinya waktu SMA aja, Aul ini (panggilan akrab gue) sering menjuarai tulis cerpen lah atau kalo enggak artikelnya sering banget dimuat di koran atau majalah.

But, biar agak keren sedikit, gue sebut Aul dengan “nama pena”-nya Millatina ya hehe. Judul novel ini adalah Elegi: Ketika Kesakitan Ditolak Kehadirannya. Beuh, berat banget kan baca judulnya aja? Bahkan gue sendiri gak ngerti apa makna dari kata ‘Elegi’. Akhirnya, gue carilah di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan munculah arti kata ‘Elegi’ seperti di bawah ini

ele·gi /élégi/ n syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian)

Bahkan, setelah gue baca arti kata ‘Elegi’ berdasarkan KBBI pun, gue masih belum ngerti banget apa dari kata ‘Elegi’ sebenarnya haha payah banget emang gue L

Sisi pandang objektif gue menilai kalo novel ini bagus, lebih dari bagus. Millatina mampu menyuguhkan novel dengan padanan kata yang cantik dan sangat intelektual. Meskipun, menurut gue pribadi sih cukup rumit karena bener-bener sastra tingkat tinggi banget deh. Contohnya seperti yang tertuang pada bagian Prolog ini (ini baru bagian prolog loh, masih pembukaan awal)

Tidak selamanya langit membentang dengan panorama biru muda yang indah, terkadang berubah kelabu, seperti ingin melepaskan kesakitan bersama air hujan. Tidak selamanya burung-burung berkicau dengan riang, terkadang hanya diam dan mengepakkan sayap membelah langit bersama ketenangan.

Gimana sedap kan? Kalo menurut lu itu hal biasa, bagi gue itu padanan kata-kata yang sangat indah. Tapi, gue emang perlu mikir dulu bacanya haha efek kebanyakan baca novel-novel teenlit :p Gue bahkan kadang harus membaca satu bagian tertentu berulang-ulang agar memahami maksudnya. Mungkin karena selera sastra gue yang terlalu rendah haha

Ada lagi yang seperti ini…

Pertemuan pertama memang tidak selalu menghadirkan cakrawala keindahan yang sempurna, tidak pula menawarkan dongeng yang indah. Terkadang justru terasa begitu rumit, seakan ingin menolaknya.

Siang diciptakan bukan untuk mengejar malam, namun sore selalu hadir dan menghubungkan keduanya.

Millatina juga banyak menyematkan istilah-istilah mitologi Yunani sebagai pengandaian di dalam novelnya, seperti Dewa Zeus, Dewi Artemis, Dewa Apollo, Dewa Dionisos, Dewi Hera, dsb – yang gue gak ngerti itu siapa. Meskipun di beberapa bagian Millatina menjelaskannya dan di beberapa bagian lainnya tidak.

Langit biru terhampar luas hingga ujung khatulistiwa dengan serat-serat awan tipis. Dedaunan seolah melambai dan menari tertiup angin. Burung-burung gereja berkicau saling menyahut satu sama lain. Dewa Aether membentuk atmosfer sempurna, hingga Dewi Gaia membiarkan bumi dalam poros sempurna.

Terkadang Millatina juga mengutip “petikan-petikan” dari orang terkenal seperti yang tertulis pada bagian ini

Untuk kali pertama ia merasa jatuh cinta, yang kemudian segera berubah menjadi amor platonicus, seperti yang ditemukan dalam naskah Symposium karya Plato, sebuah cinta yang tak tersentuh, bersebelahan namun bukan untuk berdampingan.

Gue mengagumi “kelancaran” Millatina dalam menceritakan setting tempat pada novel ini yang begitu nyata. Di dalam novel Elegi ini, Millatina mengangkat 3 tempat, yaitu Bourgogne (Perancis), Bandung (Indonesia), dan Tokyo (Jepang). Millatina mampu menceritakan setiap detail dari ketiga tempat tersebut seakan-akan ia memang tahu betul ketiga tempat tersebut. Dan gue sebagai pembaca, seakan dibawa masuk bersama ke dalam tiga tempat tersebut. Good job!

Novel ini memiliki 3 tokoh utama yang menjadi peranan penting, yaitu Dylan, Reyka, dan Sara. Dylan McFadden adalah seorang yang membenci anggur, orang tua, dan hidupnya.  Ia memiliki masa lalu yang sulit yang membentuk sikapnya menjadi seperti ini saat ia telah dewasa. Reyka Afabel, merasa dirinya seperti sebuah manekin. Ia pun memiliki masa lalu yang cukup sulit seperti Dylan meskipun dengan kasus yang berbeda. Kedua orang ini sama-sama menyukai seorang wanita cantik yang bernama Sara Visella.

Cerita novel ini sangat apik, konfliknya pas, dan penuh kejutan. Kadang, ketika gue telah menyimpulkan tentang A, kemudian ditentang pada bab berikutnya sehingga kesimpulan gue berubah menjadi B. Dan seteleh gue membaca bab berikutnya, kesimpulan gue berubah lagi menjadi C. Penuh teka-teki memang. Di sini, pembaca dituntut untuk “berpikir” juga ketika membacanya.

Millatina berhasil membuat sebuah novel yang tidak sekedar menceritakan “drama” mengenai perebutan seorang wanita oleh dua orang pria. Dalam novel ini pun tidak hanya bercerita mengenai kisah kasih, tetapi juga bagaimana Dylan mengatasi kebenciannya terhadap orang tuanya. Dan bagaimana Reyka “berdamai” dengan masa lalunya. Dan jika kau ingin tahu bagaimana akhir cerita novel ini, siapa yang akan mendapatkan hatinya Sara, kau harus membaca sendiri novel ini! :D

Ada beberapa bagian quotes yang gue suka dari novel ini, seperti…

“Kau tahu, kadang-kadang dalam hidup ini seseorang tidak diberikan pilihan, ia harus mengikuti suatu jalan yang sebenarnya tidak ingin dilalui, dan kau baru tahu bahwa jalan itu salah ketika kau sudah melaluinya.”

“Kalian tahu, hidup itu tidak sesederhana yang kau bayangkan. Ketika ada kesulitan, Tuhan pasti telah menciptakan kemudahan.” – ucap Bu Rena kepada Sara dan Rion.

Point negative yang gue dapet dari novel yang tebelnya 154 halaman ini adalah terlalu banyaknya narasi yang gak to-the-point (seperti yang udah gue singgung di atas). Memang, itu menunjukkan betapa Millatina memiliki kosa kata yang lebih dari “kaya”. Hanya saja – kembali lagi ke gue sang penggemar novel teenlit – hal itu bikin gue kadang “ngantuk” di tengah jalan. Mungkin jika ditambah dengan lebih banyak dialog atau ilustrasi yang mendukung, hasilnya pasti akan jauh lebih baik lagi.

But, overall gue ngerasa bangga banget punya temen yang udah ngeluarin novel pertamanya dengan cukup baik dan ajaib! J

So, buat lu yang memiliki jiwa sastra tinggi, novel ‘Elegi’ ini gue rekomedasiin buat lu. Atau kalo pun lu selemah gue dalam hal satra, gak ada salahnya buat lu baca novel ini :D

1 comment:

  1. Kalimatnya .... love banget anak melankolis wajib baca keknya

    ReplyDelete